ASEAN Ikut Terjun di Arena P2P Lending, Membuka Akses Modal yang Lebih Luas

Kemajuan teknologi yang pesat telah menyentuh industri keuangan dan melahirkan produk pembiayaan alternatif yang akhir-akhir ini sedang naik daun, salah satunya peer-to-peer (P2P) lending. Dengan karakteristik berupa efisiensi suku bunga dan proses screening yang mudah dan sederhana, P2P lending langsung menjadi primadona bagi pihak yang sedang membutuhkan dana, baik perusahaan maupun perorangan.

Menurut World Economic Forum, China saat ini memegang volume terbesar di dunia untuk P2P lending, dengan penyaluran dana yang mencapai USD 40 milyar pada akhir tahun 2014. Predikat tersebut diikuti oleh Amerika Serikat dengan volume sekitar USD 9 milyar (Positive Planet, 2015). Inggris menempati peringkat ketiga dengan menyalurkan volume hingga sedikit di atas USD 5 milyar (Positive Planet, 2015). Memang negara ini menjadi tempat kelahiran platform P2P lending pertama di dunia, Zopa, pada tahun 2005. Sementara itu, total volume penyaluran yang telah dikeluarkan oleh Eropa (minus Inggris) adalah sekitar USD 305 juta (Crowdfund Insider, 2015). Volume P2P lending di Asia (minus China) masih berada di bawah angka-angka tersebut, memberi ruang yang sangat lebar untuk perkembangan P2P lending di benua terbesar di dunia ini.

ASEAN Tak Mau Kalah
Di tengah meningkatnya popularitas P2P lending di dunia, beberapa negara di ASEAN telah berpartisipasi ke arena pembiayaan alternatif tersebut. Empat negara dengan P2P lending yang cukup maju adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Saat ini, pangsa pasar terbesar P2P lending di ASEAN dikuasai oleh Singapura.  

Kemajuan pesat P2P lending di ASEAN juga ditunjang oleh dukungan dari pihak yang berwenang. Pada tahun 2015 lalu, Pemerintah Malaysia akhirnya mengeluarkan aturan mengenai P2P Lending yang dikenal sebagai CMSB (Capital Markets and Services Bill). Malaysia memberikan kesempatan luas bagi investor individu untuk berpartisipasi dalam P2P lending, dengan maksimal investasi sebesar RM 50.000 per tahun. Pemerintah Thailand juga memperbolehkan investor individu untuk bermain di P2P lending dengan maksimum investasi sebesar THB 500,000.

Otoritas moneter Singapura juga telah mengeluarkan peraturan P2P lending pada tahun 2015. Berbeda dengan Malaysia dan Thailand, Singapura mengambil langkah yang lebih berhati-hati. Singapura hanya memperbolehkan investor individu terlibat dalam P2P lending jika telah mendapatkan status AI (Accredited Investors), dengan minimal total aset sebesar S$ 2 juta.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan Indonesia mengumumkan bahwa mereka tengah berada dalam tahap penggodokan kebijakan. Disebutkan oleh OJK bahwa peraturan mengenai P2P lending Indonesia akan dibuat sederhana dan membuka akses modal untuk usaha rintisan.

Pesatnya perkembangan P2P lending di ASEAN boleh dibilang cukup menarik. Pasalnya, mayoritas anggota adalah negara berkembang dimana jumlah UKM (Usaha Kecil & Menengah) mencapai 88,8% dari total jumlah bisnis yang ada (Crowdfund Insider.) Namun dari seluruh UKM tersebut, jumlah dana yang disalurkan oleh perbankan ke UKM hanya sebesar 18,7% dari total pembiayaan (Asian Development Bank), menunjukkan adanya jurang pembiayaan dan kesulitan akses modal bagi para pengusaha. Ke depan, P2P lending dengan karakteristiknya yang khas diharapkan dapat menjadi solusi ketersediaan modal di ASEAN.

P2P lending di Indonesia
Perkembangan P2P lending di ASEAN memang menarik, namun perkembangan P2P lending di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Pasalnya, Indonesia selama ini dikenal sebagai bank-based country. Artinya, selama ini masyarakat Indonesia lebih banyak mencukupi kebutuhan keuangannya—baik untuk menyimpan maupun meminjam—dari bank. 

Ketergantungan pada satu institusi keuangan ini bisa menjadi sebab kesulitan modal bagi pengusaha Indonesia. Ini karena syarat dan proses screening untuk mendapat persetujuan pinjaman tidak mudah. Perlu ada alternatif produk pembiayaan maupun simpanan atau investasi yang bisa diakses oleh berbagai lapisan masyarakat, baik yang di atas maupun di bawah. P2P lending bisa mengambil celah yang tidak bisa diraih bank karena ukuran perusahaannya yang cenderung besar.

Di Indonesia, Investree merupakan salah satu platform P2P lending yang menawarkan pembiayaan berdasarkan faktur atau invoice financing. Dengan invoice financing, seorang pengusaha dapat menjadi Borrower dan memperoleh modal dari Investor yang menanamkan uangnya di Investree. Syaratnya mudah: Borrower mengunggah data-data yang dibutuhkan melalui website Investree dan menjaminkan invoice-nya. Jika aplikasi pinjaman disetujui dan berhak ditawarkan di marketplace, Investor yang tertarik untuk meminjamkan dananya dapat langsung mengirimkan uang sejumlah yang dibutuhkan oleh Borrower.

Di sisi lain, Investor yang telah menanamkan uangnya di Investree dapat memilih sendiri pinjaman mana yang ingin didanai. Jika kesepakatan dengan Borrower sudah diraih maka Investor tinggal menunggu return berupa pinjaman pokok dan bunga yang didapatkan dari Borrower, tanpa dikenakan potongan biaya serupiah pun.

Tertarik untuk mendaftarkan diri sebagai Borrower atau Investor? Langsung kunjungi laman utama Investree dan daftarkan diri Anda. Untuk bertanya lebih lanjut tentang layanan kami, kirimkan pesan melalui laman Contact Us atau ke [email protected].

Kami tunggu kedatangan Anda di marketplace Investree!